Senin, 29 November 2010

memoriku monalisa

Hai Monalisa, bagaimana detak jantungmu setelah tak ada hembusan nafasku menemaninya? Bagaimana perasaanmu di saat kepergian aliran darah yang ada di hatiku? Aku masih ingat garis senyum matahari itu, yang setiap pagi tak pernah habis cahayanya walaupun kau terkadang menghilang untuk memamerkannya. Ledakan tawamu yang terkadang berlebihan, namun itu yang membuatku rindu. Tingkahmu yang tak satupun dapat menirunya walaupun dulu kita berdua pernah berselisih karenanya. Bias indah warna matamu, yang takkan pernah bosan untukku menikmatinya. Semua yang ada padamu, aku mensyukurinya, dan kau juga pastinya.
Monalisa, panggilan yang sangat pantas untuk menunjukkan kesempurnaan yang ada pada dirimu. Kau sanggup membuatku penuh dengan inspirasi, dan juga jatuh ke dalam cipratan depresi. Aku tak pernah tau kenapa, apakah aku sudah menukarkan jiwaku agar menyatu dengan segala yang terjadi denganmu. Ingatlah janjiku yang membuatmu sebagai pelaku utama dalam ceritaku untuk anak-cucu nanti. Mereka juga pasti mendengarnya sangat bahagia dengan kisah kita yang seperti ombak di pantai, naik dan surut, tenang dan bergelombang, penuh dengan cahaya dan buram tak jernih. Takkan cukup segala pintalan huruf yang kubuat untuk melukiskan bagaimana kau dan aku, yang pasti kita itu satu. 
Apakah kau pernah menyadari pisau yang menancap hatiku ketika melihat mendung di mata indahmu? Bagaimana sayatan pisau itu sangat membekas ketika kau dan aku seakan melepas diri satu sama lain? Aku tau, aku yang terlalu egois, aku juga tak pernah tau kenapa. Ah sudahlah, Monalisa, itu hanya sedikit keindahan dari nikmatnya kenangan. Harapanku sederhana, semoga kau baik-baik saja di mana pun kau berada. Seperti pesanmu, find your treasures.

“Dear Shari, my beloved twin, and this is the end of our high school,
but not our friendship.”

0 komentar:

Posting Komentar